Kenali Anak Lewat Weton: Bukan untuk Meramal, Tapi Memahami




 “Setiap anak terlahir unik. Kadang, budaya bisa memberi petunjuk—bukan untuk menilai, tapi untuk mengenali.”

Waktu anak pertamaku lahir, nenekku langsung nanya:
“Lahirnya hari apa? Pasarannya apa?”

Awalnya aku pikir itu cuma tradisi.
Tapi ternyata, dalam budaya Jawa, hari lahir dan pasaran—yang disebut weton—dianggap membawa “watak dasar” seseorang.

Apakah itu mistis?
Mungkin bagi sebagian orang.
Tapi aku memilih untuk melihatnya sebagai cermin karakter, bukan ramalan takdir.

Apa Itu Weton?

Weton = Hari Lahir (Senin–Minggu) + Pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon)

Contoh:

  1. Anak yang lahir Senin Pon, dipercaya cenderung tenang dan sabar
  2. Jumat Kliwon, katanya tegas dan punya karisma alam
  3. Selasa Wage, dikenal sensitif dan mudah menangkap perasaan orang lain

Apakah selalu akurat?
Tentu tidak. Tapi bisa jadi bahan refleksi awal untuk memahami pola emosi dan kecenderungan karakter anak.



Kenapa Ini Relevan Buat Orang Tua?

1. Bukan untuk membatasi, tapi mengenali

Kamu bukan menilai anak dari wetonnya. Tapi kamu bisa belajar:

  1. Gimana cara mendekatinya
  2. Kapan dia butuh ruang atau dukungan
  3. Potensi apa yang bisa dikembangkan sejak dini

"Weton bukan stempel. Tapi bisa jadi kompas awal".

2. Setiap anak butuh pendekatan yang berbeda

Misalnya:

- Anak dengan weton yang kuat energinya (seperti Jumat Kliwon), mungkin cocok dilibatkan dalam aktivitas kelompok, kepemimpinan, atau tanggung jawab kecil.

- Anak dengan weton yang lembut (seperti Senin Legi), mungkin lebih cocok dengan pendekatan yang tenang, konsisten, dan penuh empati.

3. Bisa jadi jembatan komunikasi lintas generasi

Buat orang tua muda yang hidup modern tapi punya orang tua atau mertua yang masih memegang adat, weton bisa jadi jembatan pemahaman.
Kamu bisa ajak ngobrol:

“Iya Bu, katanya weton si A ini keras kepala ya… tapi mungkin itu artinya dia butuh cara komunikasi yang beda.”

Daripada debat, kamu bisa pakai budaya sebagai titik temu.

Penutup

Weton bukan takdir yang mengikat, tapi bisa jadi alat bantu untuk lebih mengenali anak—dan juga diri sendiri.
Dengan mengenal pola dasar lewat budaya, kita bisa membangun pola asuh yang lebih bijak dan penuh empati.

Anak-anak tidak butuh sempurna. Mereka butuh dimengerti. Kalau budaya bisa membantu kita memahami lebih baik—kenapa tidak kita manfaatkan?

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak